Selasa, 02 Agustus 2011

Belum Ada Judul

Belum Ada Judul

Oleh Qomaruzzaman.

Pembunuhan di Kalimantan Barat yang terjadi pada tahun 1999 banyak menyisakan trauma para korbanya, mereka di dibunuh, layaknya binatang tampa merasa kasihan sedikpun.
Pembuhuna di Kalimantan Barat tidak hanya sekali, pertikaian antar etnis sering terjadi, pemicunya adalah kecemburuan sosial yang terjadi pada warga, namun isunya di balik, bahwa orang Madura telah berbuat makar, dan menganggap Madura sebagai maling, penjahat, dan tukang bunuh, strotipe itu sengaja di tempelkan pada orang Madura.

Seperti yang di tuturkan, Subro, Pria kelahiran Karimunting, 27 November 1977 ini,

“kerusuhan di Kalimantan Barat sudah sering terjadi namun, pada 1999 ini adalah puncaknya”.


“Kabupaten Sambas merupakan tempat yang paling parah, pada saat kerusuhan terjadi kampung saya belum terjadi kerusuhan dan pembunuhan”.

Pria yang menempuh pendidikan dasarnya di Karimunting dan Malang ini, juga bercerita banyak soal pembunuhan di Sambas. Dia melanjutkan pembicaraan setelah menerima telpon dari istrinya.

“Pada saat kerusuhan Sambas terjadi, saya masih bisa pulang ke Karimunting, waktu itu hari Raya Idul Adha, kami masih berkumpul dengan keluarga dan para tetangga”

“Siang itu, saya sedang kuliah di STAIN Pontianak, saya mendapatkan informasi dari temanku, yang pada saat itu, Dia sedang menjaga kamp penampungan di Wajok, kabupaten Pontianak”.

Ita,... ia memberiku informasi, Ita adalah teman satu organisasi intra kampus.

“Bro... Karimunting telah terjadi kerusuhan, tempat mu ludes dan rata dengan tanah, melayu dari Sambas menyerbu”.

“Mereka diungsikan kemana? “.

Ita pun tidak memberikan penjelasan, kemudian Ia pun mencari keluarganya yang hilang. Pria yang aktif di Himpunan Mahasiswa Madura ini pun, menelpon ke posko I Gubernur, namun tidak mendapatkan jawaban, kemudian Ia ketemu dengan tetangganya di Wajok.

“Kelurga mu di Paniraman”.

Dia pun bergegas menuju Paniraman desa yang terletak di kaki gunung paniraman kecamatan Sui Pinyuh Kabupaten Pontianak, dan di temapt itulah terjadi drama yang mengharukan. Ayahnya pun bercerita.

“rumah kita, habis dibakar namun, semua keluarga selamat, hanya kitab – kitab dan Ijazahmu yang tidak dapat saya selamatkan”.

Sejak itulah dia mulai meratap dan merasakan sedih yang amat mendalam, karena kehilangan ijzahnya.
Subro, inilah satu diantar beribu – ribu orang Madura, yang menjadi korban kebengisan orang Melayu Sambas, pria yang sekarang menjadi aktivisi perdamain di Kalimantan Barat ini, yang menamatkan pendidikan menengah pertama di Karimunting dan pendidikan menengah atasnya ia tempuh di berbagai sekolah, Malang, Singkawang dan akhirnya mendaptkan Ijazah aliyahnya di Mempawah tepatnya di Al – Qomar Kabupaten Mempawah.

Pendidikan strata satunya pun Ia selesaikan di tempat – tempat yang berbeda, Ia pernah kuliah di STAIN  1997 – 2001 dan kemudia selesaikan pada perguruan tinggi di Jakarta STAISA 2000 – 2005.
Subro salah satu aktivitis perdamaian di di kalangan etnis Madura.
to be continued

1 komentar:

Posting Komentar