Rabu, 20 Juli 2011

Mereka Ingin Perdamain Abadi

Mereka Ingin Perdamaian Abadi
Oleh : Qomaruzzaman


Pagi itu,(09/12/09) suasana kost tak biasa dari hari biasanya. kesibukan penghuni kost bertambah, mereka sibuk menyiapkan  keberangkatannya ke kabupaten sambas. Panas pun semangkin terasa, maklumlah kota ini terlintasi oleh garis khatulistiwa.

Kost ini, dikenal dengan sebutan BEC, temapat ini dulunya adalah tempat orang – orang belajar Bahasa Inggris, BEC merupakan singkatan dari Borneo English Course.
Sekarang  tempat ini berubah menjadi tempat para mahasiswa Madura, tempat ini di khususkan bagi mereka yang tempat  tinggalnya jauh, BEC terletak persis di tengah, diapit oleh dua rumah, cat warna kuning mendominasi permukaan rumah itu.

Para pesertapun mulai berdatangan, dan merekapun sibuk, karena peserta yang lainnya mulai memenuhi kost. Tak lama kemudian kumandang adzan dzuhur tiba, menunjukkan waktu sudah siang, para peserta bergegas ke musholla kecil yang tak jauh dari kost itu.  
Jam dinding yang persis berada diatas white board itu menujukkan pukul 14.30. Semua peserta telah berkumpul namun,  sebelum berangkat mereka mendapatkan arahan dari koordinator peserta.

“kawan – kawan hari ini kita akan ke Sambas selama satu hari untuk misi yang sangat penting dalam sejarah madura di Kalimantabn Barat ” Memet  menjelaskan.

Tepat pukul 15.00 kami pun berangkat, hujan rintik – rintik di sore itu menemani perjalanan kami, peserta work shop pendidikan multi kultural itu terdiri dari 16 orang, mereka semua mahasiswa madura.

Perjalanan ke Kabupaten Sambas akan di tempuh selama kurang lebih 7 jam melalui jalur darat.
Perjalanan ini  merupakan perjalanan yang menakutkan sekaligus mencemaskan. Kenapa demikian? Karena selama konflik terjadi orang Madura  TIDAK BOLEH ke Sambas, dan ini adalah yang pertma bagi orang madura secara bergerombol pergi ke Kabupaten Sambas.

Tiga jam sudah perjalanan dilewati,  kami tiba  di Kota Singkawang, Kota Amoi itu begitu indah pada malam hari, lampu – lampu lampiion menghiasi sebagain jalan protokol  dan kamipun istirahat seraya menunaikan shalat maghrib.

Kamipun melanjutkan perjalanan suasana jalan yang gelap menambah ketakutan dan rasa was-was pun mulai muncul,  “met... bilang ke kawan – kawan ga usah takut santai aja”, sahut sopir mobil. Ketakutan ini sangat beralasan karena di masyarakat ada semacam kata – kata yang kurang enak didengar “awak datang kame’ sambut, awak bale tinggal rambot” (kau datang saya sambut, kau pulang tinggal rambut ). Kata ini sudah sangat akrab di kalangan orang Madura.

Setelah satu jam perjalan dan telah masuk di pintu gerbang Kabupaten Sambas, akibat hujan yang turun pada sore hari dan pengerjaan jalan yang belum selesai membuat mobil yang kami tumpangi ban  mobil terjepit diantar pohon kelapa yang dibuat jembatan, sehingga separuh dari penumpang harus turun, dan orang setengah baya datang menghampiri “ ngape beh” (kenapa?) dengan logat melayu Sambasnya ia menyapa. “Ini pak mobil nyangkut”  jawab ku, bapak itu menolong  mendorong mobil kami yang nyangkut di antara pohon kelapa itu, akhirnya mobil yang kami tumpangi pun berhasil keluar.

Tampa sedikit perasaan takut sedikutpun kami berjalan menuju mobil dan ini sangat kontras dengan apa yang kami rasakan sebelum kami berangkat  namun, setelah sampai di mobil salah satu peserta tidak mau masuk dan dia menyuruh ku masuk “ bang kakeh peih masok ke ade’, engko tako’ mabuk” (kamu aja yang masuk duluan, saya takut mabuk) Dardiri berbahasa Madura. “kakeh peih kah se masok ke ade’ ” (kamu aja yang masuk duluan) saya menjawabnya. “enje’ bang” (enggak bang ) Dardiri kembali menolak. Sontak membuat teman – teman menyuruh kami cepat masuk “ayo cepat masuk” kata Memet dengan dana tinggi.

Kamipun masuk dan mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi  wuzz.... kami pun merasa aneh dengan kejadian itu, rasa tak percaya karena sebelumnya peresaan takut itu membuat  tidak nyaman, kamipun merasa heran tak terkecuali Memet “iya yah... kok ga ada perasaan takut” sahutnya. Dan tawapun keluar dari semua teman – teman, dan perjalanan itupun sedikit menyenagkan.
Suasana dingin, bunyi jangkrik dan kodok sesekali terdengar, kota ini tidak berubah sejak kutinggalkan sekian tahun lalu, ilalang di samping jalan itu pun masih tumbuh,  praktis tidak ada perubahan sama sekali. Kota yang sepi bahkan sedikit sekali bangunan, kota itu masih seperti dulu yang ada hanya bangunan – bangunan ruko (rumah toko). Jam menujukkan pukul 21.15, kami tiba di hotel Pantura namun, sebelum masuk kami diajak untuk makan namun, kami tidak menemukan karena rumah makan padang itu telah tutup, dan kamipun memutuskan untuk langsung kekamar hotel.

Saya dan Memet langsung menuju kamar setelah petugas hotel itu memberikan kuncinya, perasaan takut dan was – was kembali terlintas
“met kok aku takut ya, kamu gimana?” tanya ku.
“Ah santai aja zam” jawab Memet. 
Akirnya kami pun tidur namun, tiba – tiba saya terkejut dan bangun mendengar suara, tok...tok.., saya mencoba mencari sumber suara itu, saya buka pintu namun, tidak ada apa - apa.

Saya membangunkan Memet, ternyata Memet pun merasakan apa yang saya rasakan, 
“iya ni Zam, saya takut dari tadi kudengar bunyi itu.” Memet menyahut,
“saya ingat film hotel Ruanda ” saya menyambung pembicaraan itu, 
akhirnya dengan penuh perjuangan kamipun dapat tidur.

To be continoued
   

1 komentar:

  • gelombang says:
    18 Januari 2012 pukul 00.33

    serem juga bacanya. mantab. empat jempol untuk para pemberani ini.

Posting Komentar